Kamis, 26 Juni 2008

English for children: Perspektif Psikologi Kognitif








English for children “ berwawasan psikologi anak dalam menghadapi fenomena sosial dewasa ini ialah sangat menarik untuk dibahas dan diteliti lebih lanjut. Sebab, program ini berimplikasi terhadap masyarakat dan para pengambil kebijakan di setiap institusi yang menyelenggarakan program pengajaran bahasa Inggris. Terlepas apakah ia sebagai solusi; sebagai tantangan modernitas kehidupan ; to be modern, one has to develop a reasonable degree of modern literacy to function maximally in the industrialized society. To meet all of these chalenges, one has to virtually master English,Alwasilah (1999), atau sebatas gaya hidup elitis yang terdistorsi oleh realitas , yang tidak mengindahkan pentingnya landasan epistemologis. Tentunya, ia akan melahirkan beberapa pemikiran sesuai dengan perspektif masing-masing. Adalah menjadi tanggung jawab moral para akademisi untuk meresponnya, agar fenomena modernitas kehidupan senantiasa tidak berimplikasi jauh dalam suatu pranata sosial..

Setidaknya, kita dapat melihat “English for Children dalam perspektif psikologi kognitif Jean Piaget ( Bruner, Ausubel,pengikutnya ) yang menyatakan bahwa proses belajar mengajar terdiri dari : (1) proses asimilasi, (2) akomodasi, (3) equilibrasi. Proses asimilasi ialah proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada di benak siswa; proses akomodasi ialah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru; dan equilibrasi ialah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Sedangkan perspektif lain seperti aliran tingkah laku (Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, Skinner) yang lebih menekankan pada “hasil” daripada “proses”; aliran humanis ( Kolb, Honey, Mumford, Habermas) menekankan pada “isi” atau apa yang dipelajari (preskriptif), atau aliran sibernetik (Landa, Pask, Scott) yang menekankan pada “sistem informasi” yang dipelajari , telah menjadi diskursus lebih lanjut.

Untuk itu, catatan sederhana ini mencoba mensintesis beberapa pemikiran hipotetik , terutama “perkembangan berpikir bagi anak usia 7 atau 8 tahun” dan “1 Kurikulum Bahasa Inggris SD/MI yang berwawasan psikologi anak” terutama dasar-dasar perencanaan kurikulum dengan kebutuhan yang dihadapi.


Perkembangan berpikir anak

Perkembangan berpikir bagi anak usia 7 atau 8 tahun ialah ditandai dengan : (1) hanya berpikir dalam kontek tertentu; (2) kejujuran- tidak mengenal istilah kepura-puraan atau pretended; (3) tidak membutuhkan penjelasan atau justifikasi yang logis; (4) sulit melakukan generalisasi atau deduksi; to draw a general conclusion or make a general rule after seeing a few special cases or examining particular instances; (5) sulit membuat alasan dari sudut pandang orang lain atau dari sudut proposisi umum, assertion. Indikasi-indikasi ini sebagaimana dikutip oleh Arthur T. Jersild (1960:356) dalam Child Psychology, yakni:

… Piaget has set forth the wiew that there are stages in children’s thinking, and in his earlier experiments he maintained that up to about the age of seven or eight years a child: (1) tends to reason only in terms of isolated or particular cases; (2) is incapable of a genuine argument; (3) feel no need for verification or logical justification; (4) has difficulty in making generalizations or deductions; (5) has difficulty in reasoning from the point of view of another person or from the point of view of a general proposition.


Indikasi-indikasi ini menjadi bahan pemikiran lebih lanjut bagi penyelenggara Pendidikan Luar Sekolah bekerjasama dengan ahli bahasa dan dengan ahli agama untuk me-redesain tujuan, materi, metode dan alat penilaian yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan psikologi kognitif anak. Sebab, yang paling banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikologi kognitif anak ialah terletak pada “ proses belajar mengajar”, disamping peletakan landasan dalam Kurikulum English for Children itu sendiri. Keadaan seperti ini harus disikapi secara akademis dengan penuh kehati-hatian. Lain halnya dalam menyikapi masalah ” adult education”.Karakteristik, tahapan-tahapan berpikir si anak perlu dibahas lebih lanjut.Sebagaimana perkembangan berpikir anak sebagai berikut;

  1. Sensorimotor stage ( 0 to 2 years );

  2. Preoperational stage ( 2 to 7 years );

    1. Preconceptual thought ( 2 to 4 years );

    2. Intuitive thought ( 4 to 7 years )

  3. Operational stage ( 7 to 16 years );

    1. Concrete operational thought ( 7 to 11 years);

    2. Formal operational thought ( 11 to 16 years ).

Joyce, Bruce R, (1986:104)


Tahap sensorimotor ialah aktualisasi diri secara reflektif, yang secara bertahap berkembang melalui pengalaman berulang-ulang. Tahap preoperational ( usia 2 – 7 tahun ) terdiri dari (a) pre-konsepsi atau conceptual intellegence ( usia 2-4 tahun). Pada tahap ini seorang anak melakukan kegiatan-kegiatan seperti meniru, bermain dan menggunakan perilaku bahasanya; (b) berpikir intuitif ( usia 4 – 7 tahun); the child in the intuitive stage still remain prelogical, but decenterings occur where previous centerings led to absurd conclusions. Dan tahap operasional ( usia 7 – 16 tahun ), yakni (a) berpikir konkrit ( usia 7-11 tahun)

Dengan demikian kesesuaian metode pengajaran dengan tingkat perkembangan intelektual anak akan memberikan hasil yang baik, dan tidak ada alasan untuk membantah bahwa tiap mata pelajaran dapat diajarkan kepada setiap anak pada setiap usia dengan bentuk tertentu. Yang menjadi persoalan sekarang, bagaimana proses belajar mengajar English for Children ?. Salah satu pemikiran mengenai proses belajar mengajar yang ditawarkan Jerome S. Bruner(1915); seorang tokoh psikologi yang cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan, dan pemikirannya banyak dipengaruhi epistemolog genetik Swiss Jean Piaget - khususnya berkaitan dengan proses pembelajaran.


Teori pengajaran

Teori pengajaran Bruner melandasi dirinya kedalam teori kognitif. Teori ini lebih mementingkan pada proses belajar . Proses belajar mengajar tidak hanya sekedar terjadinya stimulus respon, melainkan melibatkan proses berpikir yang sangat komplek. Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan secara parsial melainkan merupakan satu kesatuan yang utuh. Teori pengajarannya meliputi:

  1. Pengalaman optimal

Titik tekan pengalaman-pengalaman optimal bagi anak atau peserta didik terletak pada “bagaimana cara” siswa memperoleh informasi dan memecahkan masalah atau bagaimana mengartikulasikan dirinya dalam proses perolehan informasi. Artinya informasi yang telah diperoleh dapat digunakan dalam pemecahan masalah-masalah yang dihadapinya. Salah satu contoh melalui kegiatan” Discovery activities” seperti “ Putting my toys away, what’s missing ?”

  1. Struktur pengetahuan

Tujuan akhir pengajaran ialah adanya pemahaman umum mengenai struktur materi pelajaran. Karena struktur pengetahuan dapat diungkapkan melalui (a) mode of representation, artinya setelah proses belajar mengajar berlangsung, anak atau peserta didik mampu menggeneralisasikan gagasannya. Untuk mencapai tujuan itu, seorang pendidik diupayakan melakukan coding system; penstrukturan sistem, dengan tahapan-tahapan seperti: (a) enaktif, suatu kegiatan anak atau peserta didik dalam memahami lingkungan; (b) ikonik, anak atau peserta didik melihat dunia melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal; (c) anak atau peserta didik mencoba memahami gagasan-gagasan abstrak. Salah satu contoh ialah melalui kegiatan “ Quizzes, games and puzzles” seperti “Pictograms, multiplication square, what does it means ?


  1. Mensistematisir penyajian bahan pengajaran

Tugas utama guru ialah mensistematisir penyajian bahan pengajaran. Gagasan, masalah atau body of knowledge sekalipun dapat disajikan ke dalam bentuk cakupan sederhana sehingga lebih familiar atau recognizable. Jadi guru tidak harus berpikir dalam terma-terma urutan optimal dalam menyajikan body of knowledge, melainkan ia harus menampilkan bahwa:

Optimal sequence of learning cannot be specified independently of the criteria by which final learning is to be judged. Such criteria may include (1) speed of learning, (2) resistance to forgetting, (3) transferability of what has been to learned to new instances, (4) form of representation in terms of which what has been learned is to be expressed, (5) economy of what has been learned in terms of cognitive strain imposed, and/or (6) effective power of what has been learned in terms of its ability to generate new hypothesis and combination. Bigge, Morris L. (1982:245)


Jadi dalam proses pengajaran, seorang guru tidak kaku hanya memahami kriteria-kriteria tersebut di atas, apalagi menunggu kesiapan siswa untuk belajar; A teacher should teach “readiness”; not simple wait for it to develop. Oleh karenanya, secara simultan guru terus menerus merancang mata pelajaran yang akan diajarkan atau spiral curriculum.


  1. Bentuk dan pemberian reinforcement

Terdapat dua kategori dalam proses penguatan untuk menumbuhkan motivasi belajar anak atau peserta didik, yakni: (a) success and failure; instrinsik, (b) reward and punishment; ekstrinsik.. Cara-cara yang dapat dilakukan guru seperti: (a) memberikan kepuasan yang diperoleh dari kesadarn dan pemahaman seseorang terhadap sesuatu, (b) memberi latihan yang dapat menantang mentalitas anak atau peserta didik, (c) mengembangkan bakat dan minak, (d) menumbuhkan rasa senang bila memperoleh pengetahuan, (e) menumbuhkan rasa puas bila identitas dirinya dikenal orang lain, (f) mendorong anak atau peserta didik untuk meraih prestasi tertentu, (g) mengembangkan kerjasama untuk mencapai suatu tujuan.


  1. Prosedur mendorong berpikir

Proses pemecahan masalah adalah salah satu upaya agar anak atau peserta didik mau mengartikulasikan pemikirannya untuk mencapai tujuan tertentu. Tahap-tahap pemecahan masalah tersebut, meliputi: (a) hipotesis tentatif, menghubungkan informasi yang diperoleh dengan pengalaman masa lalu, (b) mengklarifikasi hipotesis tentatif dengan data selanjutnya. Jika dua tahap ini cocok, maka hipotesis tersebut tercapai, dan bila sebaliknya – maka fakta tersebut berlawanan atau discrepant.

Disamping itu, pola-pola bicara atau types of speech anak harus diperhatikan betul-betul oleh para pendidik. Bila hal tersebut tidak diindahkan, yang akan terjadi ialah ketidakbermaknaan dalam proses belajar mengajar. Pola-pola bicara yang dimaksud terdiri dari : (1) egocentric speech dan (2) socialized speeh, Elizabeth B. Hurlock (1956:203).

Egocentric speech merupakan pseudo conversation atau sebuah bentuk monologue yang bersifat kolektif. Artinya, tidak ada upaya untuk bertukarpikiran dengan gagasan orang lain. Sedangkan socialized speech ialah terjadi ketika si anak berinteraksi dengan lingkungannya. Bentuk-bentuk socialized speech terdiri dari: (a) adaptive information, terjadinya interaksi gagasan; (b) criticism; (c) commands, requests, and threats; (d) questions; dan (e) answer yang disampaikan terhadap pertanyaan-pertanyaan real.

Dasar-dasar kurikulum

Filosofi kurikulum menjadi sangat penting perannya, apalagi peran yang akan dikembangkan ialah penanaman nilai Ke-Imanan dan Ke-Takwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (salah satu contoh). Proses melahirkan makna esensi inilah yang menjadi tanggungjawab para pendidik dalam memberdayakan setiap fenomena dan dinamika kehidupan agar lebih bermakna, yakni: Mempersiapkan generasi muda agar kehidupannya menempati posisi yang layak sesuai dengan masa dan jenisnya, menyatukan unsur kebudayaan, mempersiapkan siswa agar kehidupannya memperoleh kepuasan – apakah ia ia sebagai anggota keluarga; sebagai pekerja; sebagai warga negara secara terpadu dan penuh dengan tujuan.

Bahwa kandungan kurikulum atau isi kurikulum ialah akan dipengaruhi oleh Filsafat dan Hakikat Pengetahuan yang terdapat pada kurikulum itu sendiri. Filsafat dan Kurikulum ialah sama-sama diarahkan kepada :” Dapat menjadi apa manusia itu atau What can man become ?” atau mau dibentuk menjadi apa anak-anak seusia SD mempelajari bahasa ?. Filsafat berbicara tentang “manusia” dalam konteks makrokosmos atau teori umum dalam pendidikan, sedangkan Kurikulum berbicara tentang “manusia-manusia” dalam konteks mikrokosmos. Sebagaimana pendapat Morris dan Dewey yang dikutif Zais, Robert S (1976:106),

Philosophy and curriculum in a very real sense are variant approaches to the same problem. Both are concerned with the central question : What can man become ? The only difference is that philosophy asks the question “in macrocosm – ‘Man,” while curriculum asks it “in microcosm – men” (Morris 1961, p.224). Seen in this perspective, curriculum work, among other things, is simply a special aspect of philosophy, while philosophy is really a “general theory of education"”(Dewey 1916, p. 383)


Dengan demikian, apakah kita akan mengembangkan misi kompartementalisasi dan proliferasi kandungan kurikulum English for Children, ialah jangan sampai mengorbankan hakikat manusia secara makrokosmos (Filsafat) dan secara mikrokosmos (kurikulum). Artinya, kandungan kurikulum harus dipahami secara arif oleh para pelaku pendidikan. Ia bukan hanya subject matter, melainkan ia dapat mewarnai misi, arah dan tujuan peserta didik dalam proses pengajaran. Sehingga proses pengajaran berjalan secara manusiawi; guru mentransfer pemahaman dirinya terhadap materi yang ada pada kurikulum, disamping ia berupaya memahami karakteristik peserta didik secara manusiawi.

Landasan lain yang mempengaruhi kurikulum ialah : (a) masyarakat dan kebudayaan; (b) filosofi hidup seseorang dan (d) teori belajar. Dalam konteks proses belajar mengajar , yang dimaksud masyarakat dan kebudayaan ialah lingkungan institusi atau masyarakat di mana terdapat kemajemukan sikap, pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan. Situasi ini akan mempengaruhi kandungan kurikulum yang telah, sedang dan akan diberdayakan oleh suatu lembaga pendidikan atau oleh seseorang. Keadaan seperti ini menuntut pemahaman komprehensif dalam proses pemberdayaan semua potensi penunjang , baik yang berhubungan dengan instrumental input, maupun dengan environmental input.

Filosofi hidup seseorang ialah suatu gambaran tentang gagasan, sikap, sifat , keyakinan, kepercayaan, kebiasaan dan perilaku yang turut mempengaruhi expected outcome- hasil yang diharapkan dari sebuah realitas kehidupan. Suatu realitas yang erat kaitannya dengan sasaran antara atau bahkan dengan tujuan hakiki atau ultimate goal. Filosofi hidup inilah menjadi variabel pengaruh terhadap suatu obyek. Dan nilai-nilai yang dianut inilah yang menjadi landasan berpijak bagi seseorang dan turut mewarnai suatu tujuan yang dikehendaki . Bila ia seorang pendidik, maka obyek yang dipengaruhi oleh filosofi hidupnya ialah peserta didik. Tentunya, yang ia pengaruhi ialah aspek tujuan, materi, metode dan evaluasi pengajaran dalam proses belajar mengajar. Bila ia sebagai perancang kurikulum, maka obyek yang dipengaruhi ialah muatan kurikulum itu sendiri. Dan seterusnya. Demikian halnya dengan teori belajar atau learning theory yang dikembangkan seorang pendidik, apakah ia mengembangkan teori belajar didasarkan pada aliran Tingkah Laku ; aliran Kognitif ; atau aliran Sibernetik . Tentunya, teori-teori belajar tersebut akan mempengaruhi dan mewarnai jalan pemikiran peserta didik, apalagi dalam konteks English for Children .Wallahu a’lam bisshowab.



Rujukan


  1. Alwasilah,A.C. (1999), Language modernization needs collective effort, the Jakarta Pos.

  2. Arthur T. Jersild, (1960), Child Psychology, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.,

  3. Bigge, Morris L., (1982), Learning Theories for Teachers, New York: 4th edition, Harper & Row, Publishers.

  4. Elizabeth B. Hurlock, (1956), Child Development, New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

  5. Joyce, Bruce R., (1986), Models of Teaching, New Jersey: edition, Prentice-Hall, Inc.,

  6. Zais, Robert., (1976), Curriculum: principles and foundations, New York: Harper & Row, publishers.































Oleh:

DEDEN SUDIRMAN
















CIREBON

2008







1