Jumat, 04 Juli 2008

MENCARI MAKNA BAHASA DALAM GENERAL EDUCATION

Oleh : Deden Sudirman




A. Makna Pendidikan Umum

Pendidikan Umum ialah terjemahan dari istilah bahasa Inggris General Education, suatu program pendidikan yang tumbuh di Amerika Serikat atas dasar reaksi terhadap; (a) overspesialisasi beberapa disiplin ilmu pengetahuan yang mengabaikan nilai-nilai humaniora, sehingga cenderung lebih mekanik; (b) ketidakseimbangan antara kepentingan-kepentingan khusus dengan proses penanaman nilai yang lebih luas seperti membentuk manusia agar terdidik; (c) disintegrasi kurikulum; (d) formalisme pendidikan liberal yang cenderung menghilangkan semangat kemanusiaan; dan (e) terabaikannya nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan hakiki manusia. Sebagaimana T.R. McConnel katakan dalam Nelson B. Henry (1952:2) bahwa :

General education was a reaction against overspecialization, against imbalance between the pursuit of special interests and the attainment of the broader cultivation that the liberally educated men was traditionally expected to possess. It was a reaction, too, against the fragmentation of the curriculum and the disunity in the student’s educational experience that were the inevitable concomitants of the vast increase in specialized knowledge. … and is a reaction against formalism in liberal education. That education may lose contact with the human spirit, that it may degenerate into something perfunctory, narrow, or stilted…

Dalam kehidupan sehari-hari, istilah Pendidikan Umum sering ditafsirkan bermacam-macam - tentunya sesuai dengan perspektif masing-masing. Seperti: ada yang menafsirkan dari segi Pendidikan Umum sebagai Ilmu, jenis pendidikan, program pendidikan, dan program studi.

Philip H. Phenix (1964:5) menyatakan bahwa …”general education is the process of engendering essential meanings.” Proses melahirkan makna esensi inilah yang menjadi tanggungjawab manusia dalam memberdayakan setiap fenomena dan dinamika kehidupan agar lebih bermakna .

Earl J. McGrath,et al., yang dikutip T.R.McConnel, (editor Nelson B.Hnery, 1952:4) menyatakan bahwa : “General education … is that which prepares the young for the common life of their time and their kind. … It is the unifying element of a culture. It prepares the student for a full and satisfying life as a member of a family, as a worker, as a citizen – an integrated and purposeful human being.

Mempersiapkan generasi muda agar kehidupannya menempati posisi yang layak sesuai dengan masa dan jenisnya, menyatukan unsur kebudayaan, mempersiapkan siswa agar kehidupannya memperoleh kepuasan – apakah ia ia sebagai anggota keluarga; sebagai pekerja; sebagai warga negara secara terpadu dan penuh dengan tujuan. Esensi seperti ini merupakan manifestasi dari Pendidikan Umum,

Robert J. Havighurst dalam Nelson B. Henry (1952:73) menyatakan bahwa setidaknya terdapat lima tujuan pendidikan umum yang menjadi kesepakatan para pendidik di Amerika Serikat, yakni:

1. To develop critical intelligence, capable of being applied in many fields.

2. To develop and improve moral character.

3. To develop and improve citizenship.

4. To create intellectual unity and communion of mind among as large a population as possible.

5. To equalize opportunity, as far as is possible through education, for individual economic and social improvement.

Tujuan-tujuan pendidikan umum ini lebih diarahkan kepada peningkatan kecerdasan suatu masyarakat agar berpikir kritis, bermoral, memiliki rasa kebangsaan, integritas intelektual , dan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh pendidikan.

Pendapat lain menyatakan bahwa tujuan pendidikan umum ialah diarahkan kepada Kinerja , bukan kepada penguasaan batang tubuh ilmu pengetahuan, yakni: A general education, however, was not to be thought of “ in terms of mastering particular bodies of knowledge.” Rather it was to be thought of “ in terms of performance.” Dengan tujuan :

1. To develop for the regulation of one’s personal and civic life a code of behavior based on ethical principles consistent with democratic ideals.

2. To participate actively as an informed and responsible citizen in solving the social, economic and political problems of one’s community, state and nation

3. To recognize the interdependence of the different peoples of the world and one’s personal responsibility for fostering international understanding and peace.

4. To understand the common phenomena in one’s physical environment, to apply habits of scientific thought to both personal and civic problems, and to appreciate the implications of scientific discoveries for human welfare.

5. To understand the ideas of others and to express one,s own effectively.

6. To attain a satisfactory emotional and social adjustment.

7. To maintain and improve his own health and to cooperate actively and intelligently in solving community health problems.

8. To understand and enjoy literature, art, music and other cultural activities as expressions of personal and social experience and to participate to some extent in some form of creative activity.

9. To acquire the knowledge and attitudes basic to a satisfying family life.

10. To choose a socially useful and personally satisfying vocation that will permit one to use to the full his particular interests and abilities.

11. To acquire and use the skills and habits involved in critical and constructive thinking. President,s Commision on Higher Education di America tahun 1947, dikutip oleh Margaret Patricia Meyer (1949: 515)

Dari kutipan tersebut, bahwa Pendidikan umum merupakan program pendidikan bagi semua orang dan menitikberatkan kepada internalisasi nilai pada diri seseorang agar memiliki rasa tanggung jawab terdahap diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan warga dunia agar senantiasa berpikir kritis; konstruktif; ilmiah; menghormati gagasan orang lain; emosi stabil , dengan dilandasi prinsip-prinsip etika dan moral.

B. Tujuan Pendidikan Umum

Arah atau tujuan program Pendidikan Umum ialah menyiapkan latarbelakang akademik atau prior-knowledge yang kaya mengenai kegiatan-kegiatan manusia dan mengenai pengetahuan secara terorganisir. Untu itu, sejumlah lembaga pendidikan guru diarahkan kepada materi pelajaran yang terpadu, baik materi pelajaran yang ada di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial; Ilmu Pengetahuan Alam; Ilmu Fisika; Sastra; Humaniora – maupun materi pelajaran yang ada di Fakultas Pendidikan itu sendiri. Spesialisasi mata pelajaran ialah bertujuan agar seseorang merasa familiar terhadap materi pelajaran yang kelak ia ajarkan Sebagaimana ditegaskan Margaret Patricia Meyer (1949:407) bahwa

General education is intended to provide a rich academic background in organized knowledge and human activities. In a number of teachers’ education institutions the trend toward general education has taken the form of general or integrated courses (1) in the subject-matter departments of the social, natural, and physical sciences and in the arts and huminities; and (2) in the departments of education themselves.

Subject matter specialization, for its part, involves the process of becoming familiar with what one expects to teach. The trend has been to specialize not so much in individual subjects but rather in fields such as the social sciences, the humanities and language arts, the arts, the natural sciences and mathematics, and so on.

Sejalan dengan arah dan tujuan program Pendidikan Umum, maka terdapat lima prinsip dasar yang harus menjadi acuan dalam meletakan landasan program pendidikan umum agar kehidupan ini bermakna, P.H. Phenix (1964:268-269) yakni:

1. … consists in mastery. The meaningful life is that in which the person finds one thing to do and learns to do it wery well. The realization of existence lies in depth of understanding.

2. … consists in belonging to a community in which the various meanings are realized.

3. … it consists in many sidedness. The desirable goal is well-roundedness and variety of interests, and the curriculum should be correspondingly broad and diverse.

4. …consists in the integrity of the person. The main objective is to secure a coordination of whatever meanings are acquired into a coherent whole.

5. …consists in gaining a certain quality of understanding, that the ideal of life has to do with quality rather than with depth, participation, extensiveness, or coherence.

Prinsip dasar program Pendidikan Umum ialah diarahkan kepada penguasaan pengetahuan dan keahlian, meningkatkan rasa tanggung jawab sosial, mengetahui beberapa wilayah pengetahuan lain, adanya relasi antara satu wilayah pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, dan yang penting ialah kualitas pemahaman seseorang terhadap suatu wilayah pengetahuan atau adanya suatu keterpaduan makna atau meaningful unity dalam struktur kurikulum, walau terkadang dipengaruhi pandangan antar cabang ilmu pengetahuan sebagai konsekuensi logis perilaku manusia seperti apa yang dikatakan Theodore Brameld dengan editor Joe Park dkk (1963:194) bahwa ”Program of general or integrated education, recognizing that something must be done to give meaningful unity to the curriculum structure, have sometimes been tangentially affected by this interdisciplinary view of human behavior.”

P.H. Phenix (1964: 270 &277) mengungkapkan bahwa lingkup program Pendidikan Umum hendaknya mencakup enam bidang makna, yakni: symbolics, empirics, esthetics, synnoetics, ethics, and synoptics. Dengan lain perkataan, ia menyebutnya dengan enam pola dasar mengenai makna, yakni : in language, science, art, personal knowledge, ethics , and synoptics.

Makna simbolik ialah unsur bahasa, matematika, dan bentuk-bentuk simbolik nondiskursif seperti: gerak isyarat-gesture, upacara agama-ritual, ritmik atau pola-pola berirama, dan sejenisnya. Makna-makna ini memiliki struktur simbolik manasuka, dengan bentuk dan transformasi aturan-aturan itu secara sosiologis dapat diterima dan diciptakan sebagai instrumen dalam mengungkapkan dan mengkomunikasikan makna.

Makna empirik ialah unsur Fisika, Biologi, Psikologi dan Ilmu-Ilmu Sosial. Ilmu-ilmu ini meliputi deskripsi faktual, proses generalisasi, formulasi-formulasi dan eksplanasi-eksplanasi teoretis yang didasarkan kepada hasil observasi dan eksperimentasi terhadap hal, kehidupan, pikiran dan masyarakat. Ilmu-ilmu ini mengungkapkan makna sebagai kebenaran empirik berdasarkan aturan-aturan fakta , verifikasi dan abstraksi analitik.

Makna estetika ialah meliputi beberapa bentuk kesenian, seperti: musik, seni visual, art of movement dan kesusastraan. Makna estetika ini diarahkan kepada persepsi yang bersifat kontemplatif mengenai sesuatu tertentu yang signifikan atau abstraksi ideal yang disajikan pada karya-karya tertentu.

Makna synnoetics atau personal knowledge; menurut Michael Polanyi; atau relasi “I-Thou” Martin Buber. Dalam bahasa yunani synnoesis, yakni: berpikir medidatif atau medidative thought, ia derivat dari akar kata syn ( dengan atau bersama-sama), sedangkan noesis (kognisi atau kesadaran). Jadi, synnoetics ialah kesadaran langsung yang lahir dari seseorang. Makna synnoetics ialah terletak pada makna eksistensial, sedangkan makna bahasa ; ilmu pengetahuan dan seni ialah terletak pada esensi.; “ Language, science, and art are concerned with essences, while personal knowledge is existential,” Philip H. Phenis (1964:195).

Makna ethics, ialah diarahkan kepada perilaku seseorang didasarkan kepada kebebasan, tanggung jawab, dan keputusan-keputusan yang disengaja. Ia termasuk makna moral yang mengungkapkan kewajiban-kewajiban daripada relasi kesadaran, bentuk perseptual atau empirik. Ilmu diarahkan kepada pemahaman kognitif yang abstrak, seni diarahkan kepada persepsi estetik yang diidealisir, dan personal knowledge diarahkan kepada pemahaman intersubyektif. Sedangkan moralitas atau etika diarahkan kepada suatu kewajiban yang harus dilakukan dan ia merupakan prinsip universal. “The realm of ethics, then, is right action. The central concept in this domain is obligation or what ouht to be done. The “ought” here is not individual but a universal principle of right. “ Philip H. Phenix (1964:220)

Makna synoptics ialah diarahkan kepada makna-makna yang terpadu secara komprehensif . Ia terdiri dari : sejarah, Agama dan Filsafat. Materi sejarah ialah apa yang telah terjadi pada masa silam atau lebih tepatnya diarahkan kepada kejadian-kejadian manusia pada masa silam. Sejarah dan Sains ialah sama-sama diarahkan kepada fakta aktual-actual fact, bagi sains fakta-fakta tersebut menjadi landasan dalam melakukan generalisasi atau teori, sedangkan Sejarah menjadikan actual fact sebagai tujuan utama pengetahuan. Agama diarahkan kepada makna-makna puncak atau ultimate meanings yang dijadikan konsep dasar dan ia bersifat transenden. Dan Filsafat berfungsi menafsirkan makna-makna itu sendiri. Jadi makna-makna yang diungkapkan dalam filsafat ialah memaknai makna dari makna atau “meta-meaning”, Philip H. Phenix (1964:253).

Paul Dressel dan Margareth F.Lorimer dalam Chester W. Harris (1960:575-577) menyatakan bahwa program pendidikan umum terdiri dari :

a. Communication: terdiri atas bahasa; menulis, membaca, bercakap-cakap dan mendengar.

b. Social science: terdiri atas; sosiologi, ilmu politik, ekonomi,antrapologi, geografi , dan sejarah.

c. Science and Mathematics: terdiri atas; fisika, biologi, kimia dan matematika.

d. Humanities terdiri atas; sejarah, filsafat, agama, musik, melukis, tarian, arsitektur.

e. Personal adjustment: terdiri atas; sosiologi, phisiologi, psikologi dan filsafat.

Dengan demikian, lingkup program pendidikan umum ialah mencerminkan tujuan pendidikan itu sendiri yang dijadikan landasan filosofis, karena tujuan pendidikan bagi Phenix ialah (a) penghayatan terhadap dunia dan (b) pengenalan terhadap makna dari seluruh aspek kehidupan. Wilayah makna tersebut ialah: symbolics, empirics, aesthetics, synnoetics, ethics yang diarahkan kepada pemahaman secara ilmiah, sedangkan synoptics yang terdiri dari Sejarah, Agama dan Filsafat memiliki pengaruh integratif, karena kerangka a priori dan aposteriori dapat dijadikan kerangka landasan dalam memahami wilayah synoptics.

Sementara misi pendidikan ialah menjadi rujukan dan warna dasar yang secara fungsional turut mewarnai filosofi suatu institusi pendidikan di masyarakat dan salah satunya ialah selaras dengan makna program pendidikan umum di perguruan tinggi. Sebagaimana pendapat Nursid Sumaatmadja (1990:10) bahwa :

Pendidikan umum secara luas yang menjadi garapan Program Pasca Sarjana (S2), yaitu pendidikan yang mengutamakan pembebasan manusia (peserta didik) dari kesempitan pengetahuan, kesempitan berpikir, kesempitan sikap mental dan kesempitan wawasan yang menyebabkan seseorang menjadi kaku dalam kehidupan, terutama dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, konsep pendidikan umum di sini, tidak hanya terbatas kepada pendidikan pada sekolah-sekolah umum (SD,SMP,SMA), melainkan pendidikan dengan konsep pembebasan dari kesempitan dan keterbatasan baik di sekolah-sekolah umum maupun di sekolah-sekolah kejuruan.

Dengan demikian arah kebijakan pendidikan umum di Indonesia ialah tidak mengenal jenis dan jenjang pendidikan, melainkan ia dirahkan kepada pembentukan mental, sikap dan kepribadian manusia sesuai dengan tujuan pendidikan nasional baik di sekolah maupun di luar sekolah sebagai suatu tangjung jawab moral bersama sebagai warga negara dan warga dunia.

C. Fungsi dan Peran Bahasa dalam Pendidikan Umum

Untuk mengetahui fungsi dan peran Bahasa dalam Pendidikan Umum, terlebih dahulu perlu diulas kembali jenis bidang studi pendidikan umum yang salah satunya bahasa termasuk kelompok komunikasi. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi, memudahkan usaha untuk memperluas dan meningkatkan ilmu pengetahuan , dan mempermudah dalam pergaulan dengan warga dunia melalui peningkatan dan pengembangan language arts, seperti: kecakapan membaca – reading skills, kecakapan menulis – writing skills, kecakapan berbicara – speaking skills dan kecakapan mendengar – listening skills.

Ide dasar ilmu-ilmu sosial dan bahasa termasuk di dalamnya ialah dilatarbelakangi oleh upaya memadukan konsep-konsep disiplin ilmu yang terpisah agar lebih bermakna dan lebih bermanfaat dalam setting sosial yang bersifat menyeluruh , terutama dalam rangka melakukan studi terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia. Sebagaimana Arthur Naftalin dalam Nelson B. Henry (1952:116) nyatakan bahwa :

Much of the developmental work in social science in general education involves efforts to integrate the specialized concepts of the separate disciplines in order to make available a more meaningful and useful “total setting” for the study of man’s problems.

Setting sosial yang terpadu dan bersifat menyeluruh di mana manusia dipandang sebagai hewan yang dapat bermasyarakat, hidup dan dikondisikan oleh alam sekitar, secara terus menerus ia dapat berkomunikasi interpersonal dengan mahluk lain pada seluruh strata yang ada dan secara sadar atau setengah sadar ia senantiasa dibimbing oleh nilai, sentimen, cita-cita dan ambisi, … an integrated setting in which man is viewed as a social animal, living in and conditioned by a physical universe, unceasingly involved in interpersonal communication at many levels, and guided consciously or subconsciously by values, sentiments, ideals, and ambitions. Arthur Naftalin dalam Nelson B.Henry (1952: 116)

Dijelaskan selanjutnya oleh Arthur Naftalin dalam Nelson B. Henry (1952:117) bahwa hubungan antara ilmu-ilmu sosial dengan komunikasi cukup jelas, di mana komunikasi dipandang sebagai suatu studi tentang proses dan teknik membangun suatu komunitas dan mengidentifikasi proses dan teknik tersebut secara lengkap melalui relasi interpersonal , sedangkan ilmu-ilmu sosial ialah memiliki implikasi yang lebih substantif terutama berkenaan dengan kekuatan-kekuatan atau potensi-potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, yakni:

The link between social science and communication is, of course, apparent, and, where communication is viewed as a study of processes and techniques of community-building, the identification between them is complete, with communication dealing primarily with the processes and techiques of interpersonal relations and social science with the more substantive implications of societal forces.

Ilmu-ilmu sosial ialah mempelajari gejala sosial alam semesta dengan metode ilmupengetahuan alam; ia mencari obyektifitas sentimen, gagasan dan nilai-nilai. Sementara materi humanitas atau humaniora sebagai sisi subyektifnya ialah berupaya mengkomunikasikan sebuah pemahaman hasil dari relasi interpersonal yang merupakan dasar atau landasan landasan suatu komunitas. Sebagaimana ditegaskan oleh Arthur Naftalin dalam Nelson B. Henry (1952:118), yakni:

That social science studies the social phenomena of the universe with the method of natural science; it seeks to objectivity the sentiments, ideals, and values which – on the subjective side – are the subject matter of the humanities, and it strives to communicate and understanding of interpersonal relations that constitute the foundations of any community.

Sedangkan fungsi bahasa ialah komunikasi, dan yang dikomunikasikan ialah pesan atau message seseorang kepada orang lain. Pemahaman atau comprehension ialah tujuan diadakannya komunikasi. Dalam expressive language modes (unsur berbicara dan menulis); pemahaman mengandung arti ialah mengerti pesan dengan baik dengan cara mengkomposisikan pemahaman itu secara jelas. Dalam receptive language modes (unsur mendengar dan membaca), pemahaman mengandung arti ialah menafsirkan pesan secara akurat untuk memahami maknanya. Untuk itu, fokus membaca ialah upaya memperoleh makna dari teks,seperti teks sastra yang baik ialah akan menarik si pembaca sehingga ia hanyut ke dalam pemikiran penulis. Hal inilah yang menjadikan adanya nilai rekreatif bagi si pembaca disamping nilai fungsional dan disebut Literacy. sedangkan fokus menulis ialah menciptakan makna di dalam teks. Pemikiran seperti ini sebagaimana ditegaskan Gerald G. Duffy & Laura R. Rochler (1989:21-22), yakni:

The function of language is communication. For communication to occur, there must be someone to send a message and someone to receive it. … Comprehension is the goal of all communication. In the expressive language modes of speaking and writing, comprehension means understanding the message well enough to compose it clearly.In the receptive language modes of listening and reading, comprehension means interpreting the message accurately enough to understand its meaning. … Literacy is the sharing of recreational and functional messages through language. When creative writers compose messages that cause us to see the world differently, as with good literature, literacy is a recreational (and often aesthetic) experience. When writers share functional language, as with written directions or textbooks, literacy is a practical experience.

Berdasarkan beberapa pemikiran di atas, bisa dipahami bahwa fungsi bahasa ialah sebagai alat untuk mengkomunikasikan makna melalui lisan, tulisan atau isyarat. Sementara, Pendidikan Umum merupakan proses untuk melahirkan makna-makna esensi – “ General education is the process of engendering essential meanings,” Philip H. Phenix (1964:5). Untuk itu, Peran yang dapat dikembangkan Bahasa ialah menjadi komplemen dalam melahirkan makna, simbul, komunikasi dan literacy atau melek bahasa..

Sedangkan peran yang dapat dilakukan bahasa dalam pendidikan umum ialah; (1) sebagai suatu studi tentang proses dan teknik dalam membangun suatu komunitas (2) mengkomunikasikan suatu pemahaman hasil dari relasi interpersonal atau hubungan insani yang seterusnya dijadikan landasan oleh suatu komunitas; (3) relasi interpersonal senantiasa dibimbing oleh nilai, sentimen, cita-cita dan ambisi.

Fungsi dan peran bahasa tersebut dapat lebih diperluas lagi sesuai dengan tujuan atau filosofi dari masing-masing language arts, seperti dinyatakan Rebecca M. Valette dalam Handbook on Formative and Summative Evaluation of Student Learning karya Bloom,BS., Hastings,JT. And Madaus,GF (1971:817-835 (1) Reading skills memiliki tujuan; (a) knowledge of elements, (b) ability to differentiate and discriminate among elements, (c) ability to grasp explicit (surface) meaning of utterances or patterns ( paraphrase, English equivalents), (d) continuing desire to improve competence and increase understanding.

Knowledge of elements – pengetahuan tentang unsur-unsur, yakni unsur-unsur yang terdapat dalam reading skills seperti: kosa kata, fungsi kata secara gramatikal , dan cara pelafalan kata-kata tertentu; Ability to differentiate and discriminate among elements – kemampuan membedakan dan memilih diantara unsur-unsur itu, yakni siswa mampu mengidentifikasi dari masing-masing kata, kalimat dan paragraf; kemampuan menangkap makna eksplisit dari setiap teks atau menangkap makna inplisit dari beberapa simbol ialah memasuki wilayah comprehension dari ranah kognitif; dan kesadaran untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan meningkatkan pemahaman ialah berada pada ranah afektif.

Writing skills memiliki tujuan seperti : (a) knowledge of rules and patterns, (b) ability to differentiate and discriminate among rules and patterns, (c) satisfaction derived from achievement; dan Listening skills memiliki tujuan seperti : (a) ability to reproduce elements and patterns, (b) grater awareness of the phenomenon, (c) increased tolerance of differences.

Tujuan-tujuan dari writing skills ialah lebih diarahkan kepada pemahaman siswa terhadap struktur atau tata bahasa, sedangkan listening skills ialah lebih diarahkan kepada level sintesis dalam ranah kognitif, sedangkan kesadaran atas fenomena dan meningkatnya rasa toleransi atas beberapa perbedaan yang terjadi merupakan wujud dari afeksi kebahasaan yang telah dihayati oleh pengguna bahasa. Dan afeksi ini merupakan nurani bahasa yang dapat mempengaruhi fungsi dan peran bahasa baiksecara teoretik maupun secara praktis.

RUJUKAN

Adolph E. Meyer, (1949), The Development of Education in the Twentieth Century, Englewood Cliffs,N.J.,: Prentice Hall,Inc.

Bloom,BS., Hastinga,JT. And Madaus, GF (1971), Handbook of Formative and Summative Evaluation of Student Learning, New York: McGraw-Hill Books.

Duffy, Gerald G., (1989), Improving Classroom Reading Instruction: A Decision-Making Approach, New York: Random House.

Harris CW. (1960), Encyclopedia for Educational Research, New York: Macmillan.

Joe Park, (1963), The Philosophy of Education, New York: The Macmillan Company.

McConnel, Henry Nelson B. (1952), The Fifty-First Yearbook of the National Society for the Study of Education, Chicago: The University of Chicago Press.

Nursid Sumaatmadja, (1990), Konsep Dan Eksistensi Pendidikan Umum, Bandung: PPS IKIP Bandung, Bahan Perkuliahan .

Phenix,P.H., (1964), Realms of Meaning, New York: McGraw-Hill Book Company.

.

Kamis, 26 Juni 2008

English for children: Perspektif Psikologi Kognitif








English for children “ berwawasan psikologi anak dalam menghadapi fenomena sosial dewasa ini ialah sangat menarik untuk dibahas dan diteliti lebih lanjut. Sebab, program ini berimplikasi terhadap masyarakat dan para pengambil kebijakan di setiap institusi yang menyelenggarakan program pengajaran bahasa Inggris. Terlepas apakah ia sebagai solusi; sebagai tantangan modernitas kehidupan ; to be modern, one has to develop a reasonable degree of modern literacy to function maximally in the industrialized society. To meet all of these chalenges, one has to virtually master English,Alwasilah (1999), atau sebatas gaya hidup elitis yang terdistorsi oleh realitas , yang tidak mengindahkan pentingnya landasan epistemologis. Tentunya, ia akan melahirkan beberapa pemikiran sesuai dengan perspektif masing-masing. Adalah menjadi tanggung jawab moral para akademisi untuk meresponnya, agar fenomena modernitas kehidupan senantiasa tidak berimplikasi jauh dalam suatu pranata sosial..

Setidaknya, kita dapat melihat “English for Children dalam perspektif psikologi kognitif Jean Piaget ( Bruner, Ausubel,pengikutnya ) yang menyatakan bahwa proses belajar mengajar terdiri dari : (1) proses asimilasi, (2) akomodasi, (3) equilibrasi. Proses asimilasi ialah proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada di benak siswa; proses akomodasi ialah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru; dan equilibrasi ialah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Sedangkan perspektif lain seperti aliran tingkah laku (Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, Skinner) yang lebih menekankan pada “hasil” daripada “proses”; aliran humanis ( Kolb, Honey, Mumford, Habermas) menekankan pada “isi” atau apa yang dipelajari (preskriptif), atau aliran sibernetik (Landa, Pask, Scott) yang menekankan pada “sistem informasi” yang dipelajari , telah menjadi diskursus lebih lanjut.

Untuk itu, catatan sederhana ini mencoba mensintesis beberapa pemikiran hipotetik , terutama “perkembangan berpikir bagi anak usia 7 atau 8 tahun” dan “1 Kurikulum Bahasa Inggris SD/MI yang berwawasan psikologi anak” terutama dasar-dasar perencanaan kurikulum dengan kebutuhan yang dihadapi.


Perkembangan berpikir anak

Perkembangan berpikir bagi anak usia 7 atau 8 tahun ialah ditandai dengan : (1) hanya berpikir dalam kontek tertentu; (2) kejujuran- tidak mengenal istilah kepura-puraan atau pretended; (3) tidak membutuhkan penjelasan atau justifikasi yang logis; (4) sulit melakukan generalisasi atau deduksi; to draw a general conclusion or make a general rule after seeing a few special cases or examining particular instances; (5) sulit membuat alasan dari sudut pandang orang lain atau dari sudut proposisi umum, assertion. Indikasi-indikasi ini sebagaimana dikutip oleh Arthur T. Jersild (1960:356) dalam Child Psychology, yakni:

… Piaget has set forth the wiew that there are stages in children’s thinking, and in his earlier experiments he maintained that up to about the age of seven or eight years a child: (1) tends to reason only in terms of isolated or particular cases; (2) is incapable of a genuine argument; (3) feel no need for verification or logical justification; (4) has difficulty in making generalizations or deductions; (5) has difficulty in reasoning from the point of view of another person or from the point of view of a general proposition.


Indikasi-indikasi ini menjadi bahan pemikiran lebih lanjut bagi penyelenggara Pendidikan Luar Sekolah bekerjasama dengan ahli bahasa dan dengan ahli agama untuk me-redesain tujuan, materi, metode dan alat penilaian yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan psikologi kognitif anak. Sebab, yang paling banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikologi kognitif anak ialah terletak pada “ proses belajar mengajar”, disamping peletakan landasan dalam Kurikulum English for Children itu sendiri. Keadaan seperti ini harus disikapi secara akademis dengan penuh kehati-hatian. Lain halnya dalam menyikapi masalah ” adult education”.Karakteristik, tahapan-tahapan berpikir si anak perlu dibahas lebih lanjut.Sebagaimana perkembangan berpikir anak sebagai berikut;

  1. Sensorimotor stage ( 0 to 2 years );

  2. Preoperational stage ( 2 to 7 years );

    1. Preconceptual thought ( 2 to 4 years );

    2. Intuitive thought ( 4 to 7 years )

  3. Operational stage ( 7 to 16 years );

    1. Concrete operational thought ( 7 to 11 years);

    2. Formal operational thought ( 11 to 16 years ).

Joyce, Bruce R, (1986:104)


Tahap sensorimotor ialah aktualisasi diri secara reflektif, yang secara bertahap berkembang melalui pengalaman berulang-ulang. Tahap preoperational ( usia 2 – 7 tahun ) terdiri dari (a) pre-konsepsi atau conceptual intellegence ( usia 2-4 tahun). Pada tahap ini seorang anak melakukan kegiatan-kegiatan seperti meniru, bermain dan menggunakan perilaku bahasanya; (b) berpikir intuitif ( usia 4 – 7 tahun); the child in the intuitive stage still remain prelogical, but decenterings occur where previous centerings led to absurd conclusions. Dan tahap operasional ( usia 7 – 16 tahun ), yakni (a) berpikir konkrit ( usia 7-11 tahun)

Dengan demikian kesesuaian metode pengajaran dengan tingkat perkembangan intelektual anak akan memberikan hasil yang baik, dan tidak ada alasan untuk membantah bahwa tiap mata pelajaran dapat diajarkan kepada setiap anak pada setiap usia dengan bentuk tertentu. Yang menjadi persoalan sekarang, bagaimana proses belajar mengajar English for Children ?. Salah satu pemikiran mengenai proses belajar mengajar yang ditawarkan Jerome S. Bruner(1915); seorang tokoh psikologi yang cukup berpengaruh dalam dunia pendidikan, dan pemikirannya banyak dipengaruhi epistemolog genetik Swiss Jean Piaget - khususnya berkaitan dengan proses pembelajaran.


Teori pengajaran

Teori pengajaran Bruner melandasi dirinya kedalam teori kognitif. Teori ini lebih mementingkan pada proses belajar . Proses belajar mengajar tidak hanya sekedar terjadinya stimulus respon, melainkan melibatkan proses berpikir yang sangat komplek. Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan secara parsial melainkan merupakan satu kesatuan yang utuh. Teori pengajarannya meliputi:

  1. Pengalaman optimal

Titik tekan pengalaman-pengalaman optimal bagi anak atau peserta didik terletak pada “bagaimana cara” siswa memperoleh informasi dan memecahkan masalah atau bagaimana mengartikulasikan dirinya dalam proses perolehan informasi. Artinya informasi yang telah diperoleh dapat digunakan dalam pemecahan masalah-masalah yang dihadapinya. Salah satu contoh melalui kegiatan” Discovery activities” seperti “ Putting my toys away, what’s missing ?”

  1. Struktur pengetahuan

Tujuan akhir pengajaran ialah adanya pemahaman umum mengenai struktur materi pelajaran. Karena struktur pengetahuan dapat diungkapkan melalui (a) mode of representation, artinya setelah proses belajar mengajar berlangsung, anak atau peserta didik mampu menggeneralisasikan gagasannya. Untuk mencapai tujuan itu, seorang pendidik diupayakan melakukan coding system; penstrukturan sistem, dengan tahapan-tahapan seperti: (a) enaktif, suatu kegiatan anak atau peserta didik dalam memahami lingkungan; (b) ikonik, anak atau peserta didik melihat dunia melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal; (c) anak atau peserta didik mencoba memahami gagasan-gagasan abstrak. Salah satu contoh ialah melalui kegiatan “ Quizzes, games and puzzles” seperti “Pictograms, multiplication square, what does it means ?


  1. Mensistematisir penyajian bahan pengajaran

Tugas utama guru ialah mensistematisir penyajian bahan pengajaran. Gagasan, masalah atau body of knowledge sekalipun dapat disajikan ke dalam bentuk cakupan sederhana sehingga lebih familiar atau recognizable. Jadi guru tidak harus berpikir dalam terma-terma urutan optimal dalam menyajikan body of knowledge, melainkan ia harus menampilkan bahwa:

Optimal sequence of learning cannot be specified independently of the criteria by which final learning is to be judged. Such criteria may include (1) speed of learning, (2) resistance to forgetting, (3) transferability of what has been to learned to new instances, (4) form of representation in terms of which what has been learned is to be expressed, (5) economy of what has been learned in terms of cognitive strain imposed, and/or (6) effective power of what has been learned in terms of its ability to generate new hypothesis and combination. Bigge, Morris L. (1982:245)


Jadi dalam proses pengajaran, seorang guru tidak kaku hanya memahami kriteria-kriteria tersebut di atas, apalagi menunggu kesiapan siswa untuk belajar; A teacher should teach “readiness”; not simple wait for it to develop. Oleh karenanya, secara simultan guru terus menerus merancang mata pelajaran yang akan diajarkan atau spiral curriculum.


  1. Bentuk dan pemberian reinforcement

Terdapat dua kategori dalam proses penguatan untuk menumbuhkan motivasi belajar anak atau peserta didik, yakni: (a) success and failure; instrinsik, (b) reward and punishment; ekstrinsik.. Cara-cara yang dapat dilakukan guru seperti: (a) memberikan kepuasan yang diperoleh dari kesadarn dan pemahaman seseorang terhadap sesuatu, (b) memberi latihan yang dapat menantang mentalitas anak atau peserta didik, (c) mengembangkan bakat dan minak, (d) menumbuhkan rasa senang bila memperoleh pengetahuan, (e) menumbuhkan rasa puas bila identitas dirinya dikenal orang lain, (f) mendorong anak atau peserta didik untuk meraih prestasi tertentu, (g) mengembangkan kerjasama untuk mencapai suatu tujuan.


  1. Prosedur mendorong berpikir

Proses pemecahan masalah adalah salah satu upaya agar anak atau peserta didik mau mengartikulasikan pemikirannya untuk mencapai tujuan tertentu. Tahap-tahap pemecahan masalah tersebut, meliputi: (a) hipotesis tentatif, menghubungkan informasi yang diperoleh dengan pengalaman masa lalu, (b) mengklarifikasi hipotesis tentatif dengan data selanjutnya. Jika dua tahap ini cocok, maka hipotesis tersebut tercapai, dan bila sebaliknya – maka fakta tersebut berlawanan atau discrepant.

Disamping itu, pola-pola bicara atau types of speech anak harus diperhatikan betul-betul oleh para pendidik. Bila hal tersebut tidak diindahkan, yang akan terjadi ialah ketidakbermaknaan dalam proses belajar mengajar. Pola-pola bicara yang dimaksud terdiri dari : (1) egocentric speech dan (2) socialized speeh, Elizabeth B. Hurlock (1956:203).

Egocentric speech merupakan pseudo conversation atau sebuah bentuk monologue yang bersifat kolektif. Artinya, tidak ada upaya untuk bertukarpikiran dengan gagasan orang lain. Sedangkan socialized speech ialah terjadi ketika si anak berinteraksi dengan lingkungannya. Bentuk-bentuk socialized speech terdiri dari: (a) adaptive information, terjadinya interaksi gagasan; (b) criticism; (c) commands, requests, and threats; (d) questions; dan (e) answer yang disampaikan terhadap pertanyaan-pertanyaan real.

Dasar-dasar kurikulum

Filosofi kurikulum menjadi sangat penting perannya, apalagi peran yang akan dikembangkan ialah penanaman nilai Ke-Imanan dan Ke-Takwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (salah satu contoh). Proses melahirkan makna esensi inilah yang menjadi tanggungjawab para pendidik dalam memberdayakan setiap fenomena dan dinamika kehidupan agar lebih bermakna, yakni: Mempersiapkan generasi muda agar kehidupannya menempati posisi yang layak sesuai dengan masa dan jenisnya, menyatukan unsur kebudayaan, mempersiapkan siswa agar kehidupannya memperoleh kepuasan – apakah ia ia sebagai anggota keluarga; sebagai pekerja; sebagai warga negara secara terpadu dan penuh dengan tujuan.

Bahwa kandungan kurikulum atau isi kurikulum ialah akan dipengaruhi oleh Filsafat dan Hakikat Pengetahuan yang terdapat pada kurikulum itu sendiri. Filsafat dan Kurikulum ialah sama-sama diarahkan kepada :” Dapat menjadi apa manusia itu atau What can man become ?” atau mau dibentuk menjadi apa anak-anak seusia SD mempelajari bahasa ?. Filsafat berbicara tentang “manusia” dalam konteks makrokosmos atau teori umum dalam pendidikan, sedangkan Kurikulum berbicara tentang “manusia-manusia” dalam konteks mikrokosmos. Sebagaimana pendapat Morris dan Dewey yang dikutif Zais, Robert S (1976:106),

Philosophy and curriculum in a very real sense are variant approaches to the same problem. Both are concerned with the central question : What can man become ? The only difference is that philosophy asks the question “in macrocosm – ‘Man,” while curriculum asks it “in microcosm – men” (Morris 1961, p.224). Seen in this perspective, curriculum work, among other things, is simply a special aspect of philosophy, while philosophy is really a “general theory of education"”(Dewey 1916, p. 383)


Dengan demikian, apakah kita akan mengembangkan misi kompartementalisasi dan proliferasi kandungan kurikulum English for Children, ialah jangan sampai mengorbankan hakikat manusia secara makrokosmos (Filsafat) dan secara mikrokosmos (kurikulum). Artinya, kandungan kurikulum harus dipahami secara arif oleh para pelaku pendidikan. Ia bukan hanya subject matter, melainkan ia dapat mewarnai misi, arah dan tujuan peserta didik dalam proses pengajaran. Sehingga proses pengajaran berjalan secara manusiawi; guru mentransfer pemahaman dirinya terhadap materi yang ada pada kurikulum, disamping ia berupaya memahami karakteristik peserta didik secara manusiawi.

Landasan lain yang mempengaruhi kurikulum ialah : (a) masyarakat dan kebudayaan; (b) filosofi hidup seseorang dan (d) teori belajar. Dalam konteks proses belajar mengajar , yang dimaksud masyarakat dan kebudayaan ialah lingkungan institusi atau masyarakat di mana terdapat kemajemukan sikap, pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan. Situasi ini akan mempengaruhi kandungan kurikulum yang telah, sedang dan akan diberdayakan oleh suatu lembaga pendidikan atau oleh seseorang. Keadaan seperti ini menuntut pemahaman komprehensif dalam proses pemberdayaan semua potensi penunjang , baik yang berhubungan dengan instrumental input, maupun dengan environmental input.

Filosofi hidup seseorang ialah suatu gambaran tentang gagasan, sikap, sifat , keyakinan, kepercayaan, kebiasaan dan perilaku yang turut mempengaruhi expected outcome- hasil yang diharapkan dari sebuah realitas kehidupan. Suatu realitas yang erat kaitannya dengan sasaran antara atau bahkan dengan tujuan hakiki atau ultimate goal. Filosofi hidup inilah menjadi variabel pengaruh terhadap suatu obyek. Dan nilai-nilai yang dianut inilah yang menjadi landasan berpijak bagi seseorang dan turut mewarnai suatu tujuan yang dikehendaki . Bila ia seorang pendidik, maka obyek yang dipengaruhi oleh filosofi hidupnya ialah peserta didik. Tentunya, yang ia pengaruhi ialah aspek tujuan, materi, metode dan evaluasi pengajaran dalam proses belajar mengajar. Bila ia sebagai perancang kurikulum, maka obyek yang dipengaruhi ialah muatan kurikulum itu sendiri. Dan seterusnya. Demikian halnya dengan teori belajar atau learning theory yang dikembangkan seorang pendidik, apakah ia mengembangkan teori belajar didasarkan pada aliran Tingkah Laku ; aliran Kognitif ; atau aliran Sibernetik . Tentunya, teori-teori belajar tersebut akan mempengaruhi dan mewarnai jalan pemikiran peserta didik, apalagi dalam konteks English for Children .Wallahu a’lam bisshowab.



Rujukan


  1. Alwasilah,A.C. (1999), Language modernization needs collective effort, the Jakarta Pos.

  2. Arthur T. Jersild, (1960), Child Psychology, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.,

  3. Bigge, Morris L., (1982), Learning Theories for Teachers, New York: 4th edition, Harper & Row, Publishers.

  4. Elizabeth B. Hurlock, (1956), Child Development, New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

  5. Joyce, Bruce R., (1986), Models of Teaching, New Jersey: edition, Prentice-Hall, Inc.,

  6. Zais, Robert., (1976), Curriculum: principles and foundations, New York: Harper & Row, publishers.































Oleh:

DEDEN SUDIRMAN
















CIREBON

2008







1